
Alinea.mmtc – Gelombang penolakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) meluas ke berbagai daerah di Indonesia. Usai Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Cirebon, Jombang, Semarang hingga Bone, Protes rakyat menggema. PBB yang semestinya menjadi instrumen fiskal daerah, justru berubah menjadi keresahan bagi masyarakat di tengah krisis ekonomi.
Di Kabupaten Pati, tarif PBB naik hingga 250 persen. Aliansi Masyarakat Pati Bersatu menggelar aksi, mendesak Bupati mundur. Bupati Sudewo berdalih, penyesuaian itu menurutnya wajar dilakukan setelah 14 tahun tarif tak pernah berubah, demi meningkatkan kapasitas fiskal daerah yang kontribusinya masih rendah. Namun, penjelasan itu tak mampu meredam amarah publik yang merasa di kejutkan oleh lonjakan secara drastis.
Aksi yang dilakukan pada rabu (13/08/2025), Sudewo keluar dari kantornya untuk menemui masa aksi, dengan menggunakan kemeja putih, serta kacamata, ia menumpang kendaraan milik kepolisian. kemudia, kendaraan itu berhenti tepat di depan pagar yang membatasi warga supaya tak masuk ke halaman kantor bupati kabupaten pati.
“Saya mohon maaf yang sebesar – besarnya, saya kan berbuat lebih baik,” kata sadewo, dari kendaraan milik kepolisian
Akan tetapi, dalam statement yang diberikan oleh sudewo, ia tetap menolak tuntutan massa agar dirinya lengser.
“Saya kan dipilih rakyat secara konstitusional dan secara demokratis, jadi tidak bisa saya harus berhenti dengan tuntutan seperti itu. Semua ada mekanisme,”Kata sudewo.
Hal serupa juga terjadi di Kota Cirebon, Kelompok Paguyuban Pelangi menuntut pencabutan Perda PBB setelah tarif pajak naik hingga 1.000 persen. “Kalau di Pati bisa dibatalkan, kenapa di Cirebon tidak bisa?” ujar juru bicara Hetta Mahendrati. Sementara di Jombang, warga kaget karena tagihan PBB melonjak 700–1.200 persen. Bupati Warsubi menegaskan bahwa kebijakan itu ditetapkan bupati sebelumnya, dan kini Pemkab membentuk tim khusus untuk menangani keberatan wajib pajak.
Kondisi serupa sempat terjadi di Kabupaten Semarang, di mana PBB naik hingga 400 persen. Namun Bupati Ngesti Nugraha akhirnya membatalkan kenaikan NJOP setelah menerima arahan dari Kemendagri, serta menjanjikan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Tak hanya di Jawa, protes juga menggema di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, di mana mahasiswa menilai kenaikan PBB mencapai 200–300 persen Pemkab membantah angka itu, meski mengakui adanya kenaikan hingga 65 persen demi meningkatkan pendapatan daerah.
Fenomena kenaikan PBB-P2 di pati mengajarkan dua hal, pertama absennya komunikasi publik yang baik. Pajak adalah instrumen sensitif. Kenaikan kecil sekalipun bisa mematik resistensi jika tidak disosialisasikan secara transparan, apalagi jika lonjakan berlipat – lipat. Pemerintah daerah kerap berdalih “demi meningkatkan PAD”, tapi seringkali melupakan bahwa rakyar juga menanggung inflasi, biaya hidup dan ketidakpastian ekonomi.
Kedua, ketimpangan perspektif antara pemerintah dan rakyat. Bagi pemerintah, PBB adalah soal kapasitas fiskal, namun bagi rakyat, PBB adalah beban tambahan di tengah hidup yang makin berat. Ketika beban itu melonjak secara drastis, rasa keadilan publik mulai terguncang. Itulah yang memantik gelombang protes dan desakan politik di Pati.
Gelombang penolakan ini harus menjadi peringatan keras bagi Pemerintah Daerah di seluruh indonesia. Bahwa ruang fiskal tidak bisa di bangun dengan menambah beban rakyat secara tiba – tiba. Bahwa keberanian menaikkan pajak mesti dibarengi dengan keberanian untuk membuka dialog, mendengar aspirasi, dan memastikan transparansi penggunaan pajak.
PBB yang naik tanpa ada ruang diskusi dengan masyarakat hanya akan menciptakan jurang baru antara pemerintah dan rakyatnya. Dan jika jurang itu makin lebar, legitimasi politik kepala daerah bisa runtuh lebih cepat dari masa jabatannya.
Penulis : Pradadita Raisyah Amanda
Editor : Victorio Firsta