Bubarkan DPR? Antara Ledakan Emosi atau Krisis Representasi

Demo di depan gedung DPR RI, pada senin, (25/08/2025)

Alinea.mmtc – Seruan Bubarkan DPR yang beredar di ruang digital bukan sekedar retorika jalanan, melainkan seruan tersebut lahir dari akumulasi kekecewaan publik terhadap Lembaga legislatif yang dianggap semakin jauh dari aspirasi rakyat. Massa membawa poster bernada kritis salah satunya “Bubarkan DPR beban negara” dan “Beban negara bukanlah guru tapi DPR, bubarkan DPR” sebagai simbol kemarahan yang tak lagi bisa dibendung.

Demo yang digelar di depan Gedung DPR RI melibutkan ribuan massa dari berbagai elemen : Mahasiswa, pelajar, pengemudi ojek online hingga masyarakat umum. Mereka menolak kenaikan tunjangan perumahan DPR sebesar Rp 50 Juta per bulan. Kebijakan yag dinilai tidak etis di tengah krisis ekonomi rakyat.

Menurut Survei Indikator Politik Indonesia, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR hanya 69 persen, menempatkannya di peringkat ke -10 dari 11 lembaga negara. Bahkan, generasi muda menunjukkan pesimisme ekstrem yaitu hanya 5 persen Gen Z yang sangat percaya pada DPR.

Peneliti Formappi, Lucius Karus, menyebut desakan pembubaran DPR sebagai “masuk akal” karena, Lembaga ini dinilai tidak pernah serius berbenah sejak era reformasi. Dari korupsi, legislasi kontroversial, hingga gaya hidup elite, DPR terus menuai kritik. Ketika aspirasi publik tak digubris, maka tuntutan ekstrem menjadi pilihan terakhir.

Sejarah mencatat, dua presien Indonesia pernah dan hampir membubarkan DPR dalam situasi krisis politik. Ir. Soekarno sempat membekukan DPR hasil pemilu 1955 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 karena parlemen dianggap tidak sejalan dengan arah Demokrasi Terpimpin . Kemudian, Presiden Soekarno mengganti DPR dengan Lembaga yang lebih tunduk pada kehendak eksekutif.

Empat dekade kemudia, Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mancoba Langkah serupa. Pada 23 Juli 2001, ia mengeluarkan dektrit membubarkan DPR dan MPR serta Partai Golkar. Langkah itu dilakukan Gus Dur, karena merasa parlemen telah menghambat agenda reformasi. Namun, dekrit tersebut ditolak dan berujung pada pemakzulan dirinya.

Secara konstitusional, pembubaran DPR oleh Presiden saat ini adalah hal yang sangat mustahil. Pasal 7C UUD 1945 secara tegas melarang presiden membubarkan DPR. Satu – satunya jalan adalah amandemen UUD melalui MPR, yang membutuhkan dukungan minimal satu per tiga anggota dan persetujuan 50% ditambah satu dari total anggota MPR.

Peryataan kontroversial Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, yang menyebut bahwa pendemo “orang tolol sedunia”, hanya memperlebar jurang antara wakil dan rakyat yang diwakilinya. Respons emosional semacam itu, justru hanya akan memperburuk citra DPR yang sudah terpuruk.

Di tengan era post – thuth, dimana emosi lebih cepat menyebar daripada fakta, DPR harus segera berbenah. Bukan hanya dengan klarifikasi teknis soal tunjangan, tapi dengan reformasi substansial : transparansi legislasi, partipasi publik dan etika komunikasi yang bermartabat.

Demokrasi bukan soal membubarkan Lembaga, melainkan soal memperbaiki Lembaga tersebut bekerja. Jika DPR ingin bertahan sebagai simbol kedaulatan rakyat, makai a harus kembali menjadi aspirasi, bukan sekedar panggung elite.

Penulis : V. Navira

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *