Kritik dibalas dengan Penangkapan Aktivis Oleh Aparat

Tuntutan 17+8 yang digaungkan di DPR RI (Alinea.mmtc/Sumber: X)

Alinea.mmtc – penangkapan sejumlah aktivis yang menyuarakan aspirasi, kritik dan kekecewaan terhadap kebijakan publik yang dituangkan dalam tuntutan17+8 melalui media sosial atau aksi damai dilakukan usai demonstrasi yang meluas di sejumlah daerah pada tanggal 28 Agustus sampai 1 Agustus 2025. Usai Tindakan represif yang dilakukan aparat, kini mereka dengan gentor melakukan Tindakan yang jelas menyalahi aturan. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penangkapan harus didasarkan pada surat perintah penangkapan dan bukti permulaan yang cukup tentang dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka.

Penangkapan oleh aktivis bukan hanya pembungkaman kritik publik, melainkan tindakan yang dilakukan oleh aparat adalah melanggar HAM dalam menyampaikan pendapat di ruang publik. Penangkapan aktivis usai Demonstrasi justru menambah praktik kriminalisasi oleh Aparat terhadap masyarakat sipil. Alih Alih menjamin ruang demokrasi, justru Aparat menggunakan kekuasaan untuk membungkam suara kritis.

Deretan Aktivis yang ditangkap Usai Demo 28 Agustus – 1 September 2025

  1. Delpedro Marhaen (Direktur Eksekutif Lokataru Foundation)
    Senin, 1 September 2025 Aparat Polda Metro Jaya menjemput paksa di kantor Lokataru Foundation atas tudingan menghasut dan mengajak sejumlah pelajar termasuk anak di bawah 18 tahun, untuk melakukan “aksi anarkis” melalui media sosial dan menjadi korban kekerasan oleh polisi dan TNI.
  2. Khariq Anhar (Mahasiswa Universitas Riau)
    Jum’at, 29 Agustus 2025 Aparat Polda Metro Jaya menangkap paksa seorang mahasiswa Universitas Riau di Bandara Soekarno Hatta. Khariq dilaporkan oleh seorang individu bernama Baringin Jaya Tobing atas unggahan di akun @aliansimahasiswapenggugat dengan dalih menggunakan UU ITE sebagai alat represi.
  3. Sam Oemar (Aktivis Kediri)
    Selasa, 2 September 2025, Aparat Polresta Kediri menangkap Sam Oemar di sebuah rumah kontrakan dan ditetapkan sebagai tersangka atas penghasutan aksi demo yang berakhir rusuh di Kota Kediri pada 30 Agustus 2025. Akan tetapi yang terjadi di lapangan adalah Sam Oemar justru menenangkan situasi, bukan melakukan tindak provokasi seperti yang dituduhkan.
  4. Shelfin Bima (Aktivis Kediri)
    Kamis, 18 September 2025, Aparat Polresta Kediri menangkap Shelfin Bima usai membawakan orasi dalam aksi unjuk rasa solidaritas di Kediri atas kematian pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, yang dilindas mobil lapis baja Brimob di Jakarta pada 28 Agustus 2025.
  5. FZ (Pelajar SMA)
    Minggu, 21 September 2025, Aparat Polresta Kediri menangkap pelajar SMA yang merupakan penggiat literasi di rumahnya. Selain menangkap, aparat kepolisian juga menggeledah dan menyita tiga buku, satu unit laptop serta ponsel pribadi, dengan tuduhan aktif membuat akun dan menyebarkan flyer provokatif sejak 2024. Penangkapan FZ adalah pembungkaman terhadap kebebasan berpikir.
  6. Syahdan Hussein (Aktivis Gejayan Memanggil)
    Senin, 1 September 2025, Aparat Polda Bali menangkap Syahdan di Bali dengan tuduhan penghasutan untuk melakukan tindakan anarkis lewat media sosial @gejayanmemanggil.
  7. Laras Faizati (Pegawai Kontrak di Majelis Antar-Parlemen ASEAN)
    Senin, 1 September 2025, Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menangkap Laras yang dilaporkan oleh seorang anggota kepolisian atas unggahan Instagram Story dan dituduh telah membuat serta mengunggah konten berisi hasutan untuk membakar Gedung Mabes Polri melalui akun @larasfaizati.
  8. Muhammad Fakhrurrozi atau Paul (Aktivis Jogja)
    Sabtu, 27 September 2025, Aparat Polda Jatim menangkap aktivis Aksi Kamisan Yogyakarta di rumahnya pada pukul 15.00 WIB atas tuduhan melakukan penghasutan massa agar melakukan penyerangan terhadap sejumlah fasilitas di Kediri. Atas tuduhan tersebut, Paul dijerat dengan pasal 160, 170, 187 KUHP serta pasal 55, dan polisi menyita telepon genggam, MacBook, Tablet, lima kartu ATM, dan buku.
  9. Perdana Arie Veriasa (Staff Bem UNY)
    Rabu, 25 September 2025, Aparat Polda DIY menangkap Perdana di kediamannta yang berada di kalasan. Dengan tuduhan yang belum jelas dan pihak kepolisian juga tidak menunjukkan surat penangkapan. Selain itu, beberapa barang pribadi milik perdana disita seperti kartu identitas, ponsel, laptop, buku dan satu unit sepeda motor.
Penangkapan aktivis bukanlah sebuah insiden yang berdiri sendiri, melainkan penyempitan ruang kebebasan bersuara di Indonesia. Penegakan hukum tidak boleh menjadi alat untuk membungkam suara-suara kritis. Sebaliknya, pemerintah dan aparat keamanan seharusnya melihat gelombang protes sebagai sebuah masukan berharga yang perlu direspons dengan dialog, bukan pentungan dan borgol.

    Penulis : Azar Amalanisa Syafir
    Editor : Victorio Firsta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *