Kepada mereka yang dihilangkan
dan tetap hidup selamanya.

Begitulah kalimat pertama yang muncul dengan kasat mata sebelum jemari siap menjarah halaman-halaman dengan cerita menarik dari novel mahakarya berjudul Laut Bercerita karangan Leila S. Chudori.

Pada kelahiran pertama buku Laut Bercerita di tahun 2017,  buku karangan mantan jurnalis Tempo kelahiran Jakarta Desember 1962 itu dibersamai dengan rilisnya film dengan judul yang sama dan diproduksi oleh Yayasan Dian Sastrowardoyo bersama Cineria Films. Film pendek yang berdurasi 30 menit ini disutradarai oleh Pritagita Arianegara yang berhasil mengemas film bertemakan sejarah Indonesia yang kelam ini terasa emosional.

Menariknya, sebuah tempat dengan nama Jogja dan sebuah mahakarya berjudul Laut Bercerita berhasil bersatu padu dengan hangat pada malam pertama acara Parade Film MMTC #9 yang digelar oleh Forum Film MMTC.

Acara #bertemudibuku ini pada dasarnya adalah acara nonton film Laut Bercerita dan diskusi dengan menghadirkan Leila S. Chudori selaku penulis. Tak hanya Sang mastermind, para tim produksi Cineria Films yang terdiri dari Pritagita Arianegara selaku sutradara dan Wisnu Darmawan selaku Produser, serta tak ketinggalan Aryani Willems yang berperan sebagai Ibu karakter Biru Laut yang juga turut hadir dalam acara tersebut.

Gelaran Parade Film MMTC #9 yang akan berlangsung selama tiga hari mulai 3 sampai 5 Maret ini bisa dikatakan meriah, pintu masuk menuju venue diciptakan dengan eye catching dan indah. Setelah melewati gate, anda bisa menemukan banyak sekali booth kuliner yang bisa anda kunjungi sesuai selera. Tak lupa juga dengan outdoor photobooth dengan dilengkapi lighting yang tak akan membuat anda risau jika berfoto pada malam hari.

Setelah berhasil masuk ke dalam gedung auditorium, anda akan menemukan banyak sekali poster film yang tayang dalam acara Parade Film MMTC #9, serta indoor photobooth.

#bertemudibuku Laut Bercerita di Jogja | Alinea

Banyak sekali film-film pilihan yang juga turut hadir dan tayang dalam acara Parade Film MMTC #9 tahun 2023 kali ini. Detailnya bisa dilihat di bawah ini, anda juga bisa membaca sinopsisnya dengan klik pada judul film.

Mengepal Sahabat Laut Jogja dalam Semalam

Tepat pukul tiga sore tanggal 28 Februari 2023, perang berebut tiket #bertemudibuku Laut Bercerita edisi Jogja dibuka. Via situs loket.com, para sahabat laut berebut untuk mendapatkan kursi yang terbatas pada acara tersebut. Banyak yang mengaku tak dapat, padahal sudah memesan tiket tepat pukul tiga sore. Artinya, acara ini benar-benar menyita perhatian banyak orang. Tak heran, banyak sahabat laut yang mengeluh tak berhasil mendapatkan tiket via twitter hingga kolom komentar instagram @penerbitkpg, @forumfilmmmtc,bahkan instagram pribadi Leila S. Chudori yakni @leilachadori.

Untungnya, acara ini menyediakan tiket OTS yang bisa didapatkan pada lokasi acara, sehingga pada petang sebelum #bertemudibuku dimulai, para sahabat laut menciptakan antrean sangat panjang di meja registrasi. Beberapa dari mereka banyak yang pulang, mungkin lantaran kecewa karena tak dapat akses. Sialnya mereka, para panitia akhirnya mengizinkan para sahabat laut yang ngotot dan keras kepala untuk tidak pulang agar bisa masuk ke dalam. Beberapa dari mereka bisa duduk lantaran tak semua slot undangan penuh, dan beberapa dari mereka mengikuti acara dengan berdiri.

Lighting warna-warni telah dimatikan, film dimulai. Bisa dikatakan film Laut Bercerita seperti mencekik 373 halaman ke dalam 30 menit. Sebelum para penonton film ini mulai mengkritik, film ini seperti berkata bahwa “Hei, apa yang kau harapkan dengan sebuah film pendek berdurasi 30 menit yang berusaha mengepal 373 halaman buku?”.

Seperti definisi sesungguhnya dari film pendek, film Laut Bercerita memang dirilis dalam durasi yang singkat dan membersamai peluncuran buku dengan judul yang sama. Hal tersebut bukan berarti buruk, namun penonton diminta paham bahwa ini bukanlah sebuah film panjang yang akan menyajikan cerita bagaimana Biru Laut bisa duduk di bangku UGM, bertemu Kinan di kios Mas Yunus sambil memperbanyak halaman demi halaman buku Pramoedya Ananta Toer, hingga menggenggam tangan Anjani dan tak mau lepas.

Bisa dikatakan, film ini adalah film yang dikemas dengan ciamik sebagai sebuah film pendek. Meski Leila sendiri yang mengatakan bahwa memang beberapa arc dan tokoh tak dimunculkan, semua alur cerita filmnya tak menghilangkan esensi sebuah rumah yang kehilangan keluarganya, penculikan aktivis, hingga bagaimana para aktivis disiksa bak lebih dari  hewan ternak di tahun 98. Tak lupa semua dialog film ini merepresentasikan isu dan konflik dari cerita di dalam bukunya.

Terdengar suara tangisan yang cukup haru dari bangku penonton saat scene Biru Laut mulai memutar ulang memorinya tentang keluarganya dan kekasihnya, Anjani. Sedikit subjektif, namun scene dimana Sang Ibu Biru Laut menangisi anaknya yang tak kunjung pulang dan Asmara yang baru saja pulang dari aksi kamisan sambil terus mencoba untuk tabah, bisa dikatakan menjadi puncak dimana tangisan para penonton semakin terdengar.

Setelah film usai diputar, sesi diskusi dimulai. Ada yang mengaku bahwa Laut Bercerita bahkan menjadi separuh hidupnya karena berhasil mendorongnya masuk UGM. Ada juga yang bertanya bagaimana penulis berhati-hati untuk menulis sebuah cerita yang cukup sensitif ini.

Perasaan hampa, marah, dan sedih ketika membaca setiap arc buku Laut Bercerita rupanya tak saya rasakan sendirian. Banyak dari mereka yang sudah menuntaskan buku Laut Bercerita mengaku mengalami hal yang sama. Sakit sekali.

Yang menarik, Leila mengaku bahwa awalnya cerita tentang para aktivis yang diculik ini merupakan topik liputan dan risetnya saat masih menjadi bagian dari Tempo. Ia baru mulai menulis buku mahakarya ini di tahun 2017. Ia juga kerap merasa depressed seusai mewawancarai para keluarga yang kehilangan.

Saat sesi fansign, saya sempat bertanya kepadanya bagaimana ia meriset tentang topik ini. Karena sejujurnya saya sangat penasaran seperti apa ia melakukan riset dan sepenuh apa kepalanya saat meriset. Sambil menandatangani buku saya tepat di atas namanya, ia bertanya kembali kepada saya perihal apakah saya berkuliah di jurusan jurnalistik. Saya menjawab, ya. Setelahnya, ia balas menjawab bahwa proses risetnya sama seperti melakukan liputan. Percakapan tersebut ditutup dengan kalimat “good luck” untuk saya.

Penulis: Puja Pratama Ridwan