(Foto: HPN 2019, Source: https://www.beritaterbit.com/panitia-hari-pers-nasional-di-surabaya-undang-25-dubes)

Alinea– Liners! 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN) yang dimulai dari Kongres PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) di Padang pada 4 Desember 1978, kemudian diusulkan kepada pemerintah melalui Dewan Pers untuk menetapkan Hari Pers Nasional. Akhirnya, melalui Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1985, yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985, 9 Februari resmi menjadi Hari Pers Nasional  –meski hari peringatan ini masih menjadi perdebatan. 9 Februari juga diperingati sebagai hari lahirnya PWI, organisasi wartawan pertama pasca-kemerdekaan Indonesia. Tahun ini HPN akan digelar di Surabaya, Jawa Timur —dengan tema “Pers Menguatan Ekonomi Kerakyatan Berbasis Digital”

Halo, Reformasi! Jurnalis masih ‘menangis’

Foto: Bukan berbicara mengenai kemeriahan mendatang, sorot sisi lain profesi wartawan yang masih dianaktiri-kan. Source: https://redaksikota.com/wp-content/uploads/2018/11/stop-kekerasan-pers.jpg)

Liners! Pers sudah bernyawa bahkan sebelum Indonesia merdeka. Namun fenomena ini bak bola salju yang terus bergulir. Setelah lolos dari ‘perampasan’ suara, nyatanya tidak serta merta membuat pers sepenuhnya bebas bernafas. Bahkan dengan dukungan UU No. 40 Tahun 1999, insan pers masih dibayangi ancaman keselamatan. Perlakuan menyayangkan kerap menimpa wartawan saat proses liputan. Mulai dari intimidasi, pengrusakan-perampasan kamera, hingga kekerasan yang berujung kematian. –liputan = medan perang!

(Foto: Salah satu kasus –Pembunuhan wartawan Bernas Jogja, Fuad Muhammad Syafruddin atau Uddin hampir 23 tahun silam hingga kini belum juga menemui titik terang. Source: https://cdns.klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2014/02/08/318444/670×335/kisah-pembunuhan-wartawan-udin-17-tahun-masih-gelap.jpg)

Pasal 8 UU Pokok Pers No. 40 Tahun 1999, berbunyi “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum” seharusnya bisa menjadi ‘jaminan’ penerang, dibalik kenyataan yang masih amat-sangat remang. Kekerasan masih menimpa wartawan pada beberapa kesempatan, oknum menempatkan pewarta bak lawan yang harus dimusnahkan. “tumbang,tumbang,tumbang!” –nyawa seakan permainan. Upaya penjegalan kaum kapitalis untuk menutupi kesalahan –hingga melewatkan rasa kemanusiaan.

Wartawan masih dibatasi.

Tak jarang, jurnalis juga ditempatkan pada posisi yang tak menyenangkan –melawan nurani tak berkesudahan. Demi keuntungan golongan atau perusahaan, berita yang dikabarkan pun menjadi tak sepadan –tak seimbang. Praktik jurnalis dalam lingkaran bisnis. Jurnalis berusaha bersikap jinak –lunak menghadapi penguasa tamak. Banyak hal dan nilai-nilai yang terabaikan. Di antaranya sibuk mendongkel rival, menghancurkan kata netral. Yang lain membangun citra di atas segala fakta, berlomba membuat cerita keagungan diri untuk menetaskan akar simpati. Butir kode etik sebatas diksi apik untuk memainkan peran cantik. Jurnalis kehilangan poros kendali untuk tetap berada di jalan profesi. Ironi, negeri demokrasi dibatasi komersialisasi –dan manipulasi.

Wartawan masa depan

(Foto: “Kalau mau jadi jutawan, jangan jadi wartawan”, Source: http://prfmnews.com/images/Ilustrasi-Berita-Kekerasan-Terhadap-Jurnalis.jpg)

Menjadi pewarta bijaksana, melaporkan sesuai fakta, berasas pancasila, berpedoman kode etik jurnalistik, dan independen. –dan tentunya dengan upah yang relevan menjadi harapan dan doa yang harus terwujudkan untuk wartawan masa depan –dan saat ini. Juga diperlukan kerjasama dan sifat terbuka antar pegiat media dengan pemerintahan dan oknum untuk menjaga kepercayaan publik. Meski UU Pers belum sepenuhnya melindungi wartawan, namun seiring berjalannya tatanan pengelola pemerintahan ke depan, diharapkan segala hal yang mengancam wartawan mesti hilang–musnahkan. Stop kekerasan pada wartawan!Dan generasi millennial sebagai kemudi bangsa harus siap dengan berbagai macam keberagaman dan tantangan untuk berkembang –tanpa merugikan. So, apa pun suku-ras, idola, dan klub bolamu bukan menjadi tonggak permasalahan. Saling menjaga kerukunan dan toleransi akan menciptakan kebahagiaan tanpa dramatisasi. Kalau bisa saling berkawan, kenapa harus berlawan? Selamat Hari Pers Nasional, untuk seluruh wartawan di Indonesia! Hwaiting! (Lia)