ALINEA – Masih ingat film ‘Dua Garis Biru’ yang sempat menuai pro kontra dan pemboikotan oleh sejumlah pihak bahkan sebelum filmnya dirilis di bioskop? Selamat, semua itu akan terpatahkan setelah kamu menonton film ini.
Film garapan Gina S. Noer yang dirilis 3 hari lalu sukses memberi pelajaran kepada penonton tentang pentingnya tanggung jawab melalui jalan pernikahan dini yang kerap selalu jadi pembicaraan anak muda jaman sekarang. Apalagi mempertanggung jawabkan adalah hal yang sulit untuk dilakukan bagi anak muda yang umumnya masih asyik bermain diluar sana.
‘Dua Garis Biru’ dimulai dengan opening singkat dimana Dara (Zara JKT48) dan pacarnya Bima (Angga Yunanda) yang duduk di kelas 3 SMA melewati batas wajar dalam hubungan ‘cinta monyet’ mereka, tanpa tahu konsekuensi yang akan didapat, Dara dan Bima dipaksa menuju jalan yang harus dipilih, yaitu pernikahan dini.
Mengetahui tentang kehamilan dini Dara, kedua pasangan tersebut mengambil arah yang mungkin akan juga diambil oleh remaja yang mengalami hal yang sama, yaitu aborsi. Tapi disisi lain Dara tidak menginginkan hal itu, karena itu adalah anak yang ia kandung sendiri dan harus di pertanggung jawabkan, disinilah sebuah keputusan tepat yang diambil Dara hingga akhir film nanti.
Gina S Noer Bermain Apik Dalam Kemasan Filmnya
Sebuah film yang dikemas dengan sangat natural, tegas, jelas dan tidak di lebih-lebihkan, semua adegan tersusun dengan sangat rapi, dari alur, visual, script hingga pesan-pesan yang disampaikan, semua dikemas dengan sangat sempurna, penulis naskah Ayat-Ayat Cinta (2008) ini patut di acungin jempol.
Dari awal film hingga akhir, tidak ada satupun pesan yang gagal disampaikan, akting kedua pemain utama Zara dan Angga yang penuh emosional juga setiap adegan mendukung semua aspek dalam film ini. Yang dimaksud disini adalah permainan visual dan emosi, dalam arti, tidak banyak dialog yang diutarakan oleh para aktor, tetapi dikemas menggunakan gambar yang bercerita.
Gina juga tidak melupakan dilema kehidupan remaja di Indonesia, konflik keluarga yang ditimpa rasa malu, juga lingkungan kehidupan Bima yang bisa dibilang sedang berjuang menghadapi finansial keluarga.
Bukannya rasis, tapi di awal film Gina sudah menunjukkan detail tentang perbedaan finansial kedua pasangan itu, Dara merupakan anak dari orang tua yang terlihat sudah mapan, sedangkan Bima anak penjual gado-gado dan pensiunan.
Sangat simple, tapi inilah yang membuat film ini terasa hidup. Semua itu terlihat dengan bagaimana cara mereka mencari solusi, perbedaan strata keluarga (kaya dan miskin) dan warna kulit Bima (Angga) yang sengaja dibuat lumus.
Konflik yang ditunjukkan pun terlihat sangat jelas dan realistis, balutan kehidupan berkeluarga juga tidak dilupakan di film ini, dari konflik kedua pasangan, konflik kedua belah keluarga, dan terdapat solusi yang diberikan pada tiap konflik. Tidak heran jika film ini disusun dengan apik. Kenapa? Karena konflik yang ditunjukkan di awal film akan menuntun seluruh alurnya, Seperti lingkungan bertetangga di sekitar Bima yang penuh konflik keluarga.
Permainan Visual
Permainan visual oleh Gina patut di apresiasi, film ini seakan merupakan film berkonsep jurnalistik, tidak perlu berdialoog banyak, semua visual seakan berbicara, benda mati pun memiliki arti tersendiri yang tak dapat di lewatkan, seperti stroberi yang di letakkan di perut Dara, jus stroberi yang di beli Bima.
Aspek emosi juga terlihat jelas di film ini, semua aktor berhasil memukau penonton dengan akting gemilangnya, bahkan reaksi diam pun memiliki pesan terselubung di film ini. Film ini seakan membisu dan membiarkan penonton untuk memaknai pesan-pesan yang disampaikan.
Salah satu adegan yang akan selalu dikenang sepanjang masa adalah adegan di UKS dimana orang tua Dara dan Bima mengetahui tentang kehamilan diluar nikahnya Dara akibat Dara yang mengeluh perutnya sakit, adegan itu dipresentasikan dengan sangat akurat melalui perselisihan orang tua dan saat ibu Dara berkata “kamu mau tanggung jawab? iya kan? mulai hari ini!” dengan nada yang keras. sulit di percaya adegan itu bisa dibilang menjadi adegan terbaik di negara kita.
Komedi ditampilkan dengan visual yang berbicara tadi, disini komedi tidak dikemas dengan utaran berlebihan, hampir semua aktor disini bukanlah pelawak tapi komedi disini justru aneh, adegan yang seharusnya membuat tegang tapi malah membuat penonton tertawa.
Akting Zara dan Angga Menjadi Pilar Utama di Film Ini
Zara tergolong masih baru dalam dunia perfilman, tetapi tidak membuat member JKT48 ini kalah saing, justru akting yang Zara bawakan terlihat seperti aktor tingkat atas, Zara membawakan karakter Dara dengan sangat sempurna yaitu dilema anak remaja yang sedang mengandung di usia dini.
Angga seperti kebalikannya, tidak banyak berekpresi tetapi berhasil membawakan peran anak laki-laki dengan finansial kelas bawah yang sedang ditimpa tanggung jawab besar. Yang dilakukan Angga disini hanyalah diam dan seperti sedang berpikir, tapi mimik wajah yang di tampilkan justru membuat pesan yang harus disampaikan kepada penonton.
Terlebih lagi, pemain senior turut menyempurnakan peran di film ini, kehadiran orang tua Bima (Cut Mini dan Arswendy Bening) dan orang tua Dara (Lulu Tobing dan Dwi Sasono) layaknya dua dunia yang berbeda tapi harus menyatukan pendapat dan keputusan, ya seperti itulah yang ingin Gina sampaikan.
Ending Film Yang Menegaskan Tentang Menjadi Orang Tua
Mendekati ending cerita film ini, kerja keras Gina membuahkan hasil. Kemasan ending pun patut diterima dan memang sudah diberi petunjuk selama pemutaran film, Dara sudah memberi beberapa petunjuk untuk akhir film seperti berkata tubuh nya saat mengandung dirasa seperti lain dari wanita hamil pada umumnya, dan tentang impian besar nya ke Korea, ternyata benar di akhir cerita Bima harus membuat keputusan untuk menyelamatkan Dara juga hak asuh terhadap anak mereka, Adam.
Ya ini antara happy ending atau bad ending terbalut bersamaan. Tapi pada akhirnya semua keputusan harus di ambil, tanpa keraguan lagi. Bima bersama orang tuanya yang suportif mengasuh Adam, Dara tetap melanjutkan studi nya ke Korea.
Gina di akhir cerita ‘Dua Garis Biru’ memberi pesan tegas kepada setiap keluarga yang sedang atau pernah mengalami kejadian yang sama, agar untuk selalu menghargai proses minta maaf dan pemecahan solusi agar tidak terjadi kekerasan ataupun kesalahan fatal pada remaja yang mengalami pernikahan dini. Semua itu dilakukan untuk mengurangi jumlah upaya preventif remaja dalam hal tindakan penyimpangan.
Alinea memberi 8.5/10 untuk film ini, jauh dari kata sempurna, tapi semua dikemas dengan sangat rapi di kelas perfilman Indonesia. Film ini patut ditonton untuk kamu dan keluargamu agar lebih memahami betapa pentingnya menjadi orang tua dengan pengambilan keputusan sebijak mungkin. (Faiz)
Makasih buat filmnya yha, aku sm keluargaku banyak mengambil hikmah dari sini, terutama buat Angga Aldi yunanda dan adhisty darahnya, moga sukses selalu
ʕʘ̅͜ʘ̅ʔ