Bapak Pantomim Indonesia Yang Tak Pernah Pudar

by

in

Yogyakarta – Pantomim (Bahasa Latin: pantomimus, meniru segala sesuatu) adalah suatu pertunjukan teater akan isyarat, dalam bentuk mimik wajah atau gerak tubuh, sebagai dialog (Wikipedia.com) Namun Pantomim Menurut Jemek Supardi adalah panggilan hidupnya. Menurut jemek supardi tidak ada seniman pantomime yang masih konsisten di zaman sekarang selain jemek supardi.

Jemek lahir Yogyakarta, 14 Maret 1953 , awal mula ia berpindah ke seni pantomime pada tahun 1974 karena ia merasa kekurangan dalam seni teater di bidang menghafal naskah sehingga ia belajar otodidak seni berpantomim. Dan  ia menekuni pantomime selama kurang lebih tiga puluh tahun.

Jemek menempuh pendidikan dasarnya hingga berakhir di SESRI (Sekolah Seni Rupa ) yang sekarang berganti nama SMSR pada tahun 1972 meskipun dikeluarkan. Ketekunan nya pada seni teater ia lanjutkan pada seni gerak berpantomim hingga sekarang. Tidak ada tokoh yang memberi ilmu tentang pantomime kepadanya. Ia hanya rajin menonton pentas pantomim dari luar negeri yang digelar di Yogykarta, termasuk pantomim Prancis, Marcel Marceau.

Jemek juga selalu berpantomim di tempat tempat yang tak biasa guna mengembangkan serta menyebarkan seni berpantomim, seperti di jalan, makam pahlawan, kereta api, dan Rumah Sakit Jiwa Magelang. Dia juga membuat heboh ketika pantomim tak disertakan dalam agenda Festival Kesenian Yogyakarta 1997. Berpakaian kaos hitam-hitam dan muka putih dia berangkat dari rumahnya dengan naik becak ke Pasar Seni FKY. Tapi, satuan petugas keamanan di Benteng Vredeburg mencegat dan menggelandangnya. Ia lalu menggelar pantomim Pak Jemek Pamit Pensiun di sepanjang Malioboro, jalan itu pun macet total.

Ia juga pernah menggelar aksi diam sepanjang Yogyakarta-Jakarta saat aksi mahasiswa menuntut Soeharto mundur. Ia setuju jika seniman terlibat dalam berbagai kegiatan dengan menampilkan kemampuannya lewat performance art. Selama lebih dari tiga dasawarsa ia berkesenian, banyak karya telah dilahirkannya. Karya seninya sering dibawakan secara tunggal dan kolektif oleh beberapa kelompok teater.

Karya-karya yang dihasilkan di antaranya

  • Sketsa-sketsa Kecil (1979)
  • Dokter Bedah (1981)
  • Jakarta-jakarta (1981)
  • Perjalanan Hidup dalam Gerak (1982)
  • Jemek dan Laboratorium (1984)
  • Jemek dan Teklek Jeme (1984)
  • Arwah Pak Wongso (1984)
  • Perahu Nabi Nuh (1984)
  • Lingkar-lingkar Air (1986)
  • Adam dan Hawa (1986)
  • Kepyoh (1987)
  • Patung Selamat Datang (1988)
  • Soldat (1989)
  • Maisongan (1991)
  • Menanti di Stasiun (1992)
  • Se Tong Se Teng Gak (1994)
  • Termakan Imajinasi (1995)
  • Jemek Pamit Pensiun (1997)
  • Dewi Sri tidak Menangis (1998)
  • Kaso Katro (1999)
  • Eksodos (2000)
  • 1000 Cermin Pak Jemek (2001)
  • Topeng-topeng (2002)
  • Air Mata Sang Budha (2007)
  • Menunggu (Kabar) Kematian (2008)
  • Buku Harian Si Tukang Cukur (2012)
  • Jemek Ngudarasa (2013)

Dari sekian banyak karyanya , jemek memiliki pengalaman serta pentas yang tidak bisa ia lupakan. Ialah pentas perhu nabi nuh diman disitu juemek tidak bisa full leluasa menjadi sesosok nabi yang ingin mendekat tuhan.

” Yang Paling Susah yan menjadi sosok Nabi Nuh, itu Bukti Bahwa manungso (manusia) tidak bisa ngranggeh (meraih / mendekati) seperti Nabi Bahkan Tuhan” Jelasnya.

Dalam menyebarkan dan konsistensi nya dalam dunia seni pantomime jemek selalu mengadakan pementasan setiap tahunnya akhur – akhir ini.

Di usianya yang ke 67 Tahun ini, jemek merasa media sekarang banyak yang memberitakan tentang kesenian hanya untuk tujuan pribadi dan penuh sensasi.diam diam tetap setia pada seni pantomime. Perlu orang-orang seperti Jemek Supardi menjadi pejuang pantomim di tengah hiruk-pikuk gersangnya makna hiburan kita.Sampai – sampai Emha Ainun Nadjib, yang memberi sambutan pada pagelaran 50 tahun Jemek Supardi, menjulukinya: Putra terbaik dari bangsa besar yang tahun-tahun terakhir ini semakin menunjukkan kebesarannya di mata dunia.

Keluarga Jemek yan sekarng pun adalah keluarga seni dari Istrinya Seorang seniman seni rupa lulusan dari ISI Yogyakarta dan Putrinya Lulusan Seni Tari dari ISI Yogyakarta.

Hidup dengan hanya menggantungkan penghasilan dari bermain pantomim, jelas mustahil. Hal ini mengingat jarang sekali pertunjukan yang melibatkan seni pantomim. Dalam sebulan, belum tentu ia bisa manggung dua kali, dan ini disadari betul oleh Jemek Supardi. Jemek tak berkhayal. Ia menerima kesulitan ekonomis itu sebagai bagian hidupnya. Karena itu ia mempunyai pedoman sederhana: Tak usah berpikir bagaimana besok, asal hari ini ada yang dimakan, cukuplah. Ia pun bekerja sampingan sebagai makelar peti mati.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *