ALINEA – Kibasan gir itu melesat ke arah kepalanya hingga membuatnya terseret sejauh 20 meter. Sempat meregang nyawa, Daffa Adzin Albasith (17) tewas akibat serangan klitih pada Minggu (3/4) dini hari.

Dirreskrimum Polda DIY Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi mengungkapkan bahwa teror ini bermula ketika korban dan 8 temannya dengan 5 sepeda motor melaju dengan kecepatan tinggi hingga menimbulkan bising. Disinyalir, gemuruh knalpot itu mengganggu pengendara lain, yang kelak menjelma sebagai penjagal.

Daffa terkonfirmasi meninggal dunia kurang lebih 10 jam pasca-teror, sekitar pukul 09.30 WIB.

Respons Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta

Dengan tegas, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X meminta aparat penegak hukum untuk tidak pandang umur sang pelaku, karena sudah membuat korban hingga tewas.

“Kalau saya itu melanggar hukum. Bukan klitih kenakalan anak saja, tapi sudah terlalu jauh,” imbuhnya dilansir dari CNN Indonesia.

Namun, Sri Sultan dinilai baru bersuara ketika yang menjadi korban adalah anak seorang pejabat, tepatnya anak dari anggota DPRD Kebumen, Madkhan Anis.

Melansir Kompas, raja Kraton Jogja tersebut pernah curiga bahwa pemberitaan klitih yang dibesar-besarkan adalah upaya untuk membuat citra Jogja kurang baik dan tidak aman.

“Jadi, (tujuannya) supaya klitih ini diperpanjang terus menjadi sesuatu yang akhirnya menyatakan Yogya tidak aman dan nyaman,” ujarnya kala itu.

Perubahan Pola Klitih

Sebenarnya dalam bahasa Jawa “klitih” berarti aktivitas mencari angin di luar rumah, namun kini maknanya bergeser menjadi suatu tindakan kekerasan.

Merujuk artikelVICE yang berjudul Bekas Pelaku Klitih Beberkan Alasan Kekerasan Brutal Sulit Hilang dari Jalanan Yogya oleh Titah AW, tersingkap bahwa terdapat perubahan kala klitih dilangsungkan. Ketiga bekas pelaku yang diinterviu olehnya sepakat kalau tindakan kriminal tersebut akhir-akhir ini lebih pantas disebut begal.

Perubahan pola tersebut terjadi pada kurun 2015-2016, ketika geng alumni SMA dan geng liar berbasis premanisme jalanan muncul.

Jika dulu aturan mainnya adalah penyerangan hanya dilakukan antar-sekolah, kini korban klitih bisa terjadi pada masyarakat umum. Selain itu ada aturan tidak tertulis lainnya, seperti: dilarang menyerang pelajar yang sedang pacaran, dilarang menyerang siswa yang menunggu angkutan umum, dan diperbolehkan menyerang asal tidak membunuh.

Aturan terakhir menjadi tidak relevan seiring bertambahnya korban jiwa akibat klitih masa kini, sebanyak tujuh nyawa melayang dalam kurun 2016-2021. Sepanjang tahun 2021, Polda DIY mencatat sebanyak 58 kasus, meningkat 6 kasus dari tahun sebelumnya.

Penyebab Terjadinya Klitih

Menurut studi yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2016, kedua kelompok geng tersebut merebak disebabkan karena perebutan wilayah kekuasaan sebab pertumbuhan ekonomi yang terjadi di sana.

Bekas pelaku klitih, AZ (23), berpendapat hal yang mendasari orang untuk melakukan klitih bervariasi.

Kepo (penasaran), lah, latar belakang keluarga yang hancur, mereka yang enggak kapok ketangkep karena mereka merasa dibangga-banggakan oleh teman-temannya kalo dia berani klitih,” tulisnya saat dihubungi via WhatsApp (5/4).

AZ yang melakoni klitih dari tahun 2014-2018 berujar, orang-orang yang setelah melakukan klitih merasa senang karena dibangga-banggakan oleh koleganya. Selain itu, mereka menganggap hal tersebut sebagai sebuah pencapaian.

“Mereka buta kalo di atas langit masih ada langit.”

Polisi saat melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) peristiwa penganiayaan di Jalan Gedongkuning, Kota Yogyakarta yang menyebabkan siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta, Dafa Adzin Albasith meninggal dunia. Peristiwa penganiayaan ini terjadi pada Minggu (3/4/2022) dini hari (Foto Dokumentasi Humas Polda DIY)
Aparat kepolisian saat melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) di Jl. Gedongkuning, DIY yang menyebabkan Daffa (17) tewas akibat klitih pada Minggu (3/4).
(Dok. Kompas/Yustinus Wijaya Kusuma)

Ketegasan Aparat Penegak Hukum Diuji

Rata-rata, kata AZ, mereka dapat melakukan aksi kriminal karena merasa yakin akan “ditebus” oleh orang tuanya atau membayar pengacara agar hukumannya ringan. Menurutnya, beberapa pelaku yang tidak jera berasal dari kalangan yang lumayan berada secara finansial.

“Ya mungkin ga semua (aparat yang menerima upeti). Sama, penanganan klitih di Jogja ini kurang menurutku,” ujarnya.

Baca juga: Kuliner Tepi Sawah di Barat Yogyakarta

Sebagai komitmennya dalam memberantas “kejahatan jalanan”, Pemda DIY dan Polda DIY membentuk Kelompok Jaga Warga.

“Sesuai Pergub DIY 28/2021, Kelompok Jaga Warga memiliki tugas membantu menyelesaikan konflik sosial di lingkungan masyarakat masyarakat. Modal sosial ini dapat menjadi tambahan kekuatan untuk menanggulangi kejahatan jalanan di masing-masing wilayah,” terang Kepala Bagian Bina Pemerintahan Kalurahan/Kelurahan dan Kapanewon/Kemantren, KPH. H. Yudanegara (5/4).

Selain pembentukkan kelompok massa, upaya yang dilakukan adalah penyuluhan secara berkala kepada pelajar SMP/SMA serta melakukan razia pada tas bawaan pelajar oleh Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat).

Memperbanyak penerangan jalan dan memasang spanduk imbauan lokasi yang rawan kejahatan juga menjadi kiat-kiatnya, kata Direktur Direskrimsus Polda DIY, Kombes Pol. Roberto Gomgom.

“…serta membatasi siswa (bagi yang belum memiliki SIM) untuk tidak menggunakan kendaraan bermotor ke sekolah,” tambahnya.

Baca juga: Jalan-Jalan Sambil Belajar di Yogyakarta

Biasanya, para pelaku melakukan aksinya menggunakan lebih dari satu motor. Waktu pelaksanaan klitih pun tidak menentu dan bisa terjadi kapan saja, baik itu pagi, siang, sore, ataupun malam.

“Kita selamat dari klitih, ya, alhamdulillah, kita kena klitih, ya, udah sabar,” tulis AZ yang baru-baru ini pacar dari ponakannya, sedang menunggu hasil vonis akibat klitih setelah sebelumnya sempat dipenjara selama 6 bulan karena ulah yang sama.


Penulis: Ricky Setianwar