Menjaga Kewarasan via “Memorabilia Wartawan Udin”

Sleman, DIY – Fuad Muhammad Syarifuddin (35) mengembuskan napas terakhirnya tepat sehari sebelum Hari Kemerdekaan RI yang ke-51 tahun. Udin, sapaannya, dibunuh karena berita.

Atas kejadian tersebut, sosok Udin menjadi ikon kebebasan pers di Indonesia. Wajah bulatnya kerap mengisi poster-poster di tiap tangan kerumunan orang yang sedang menagih tanggung jawab penguasa atas rentetan rapor merah HAM di negeri ini.

Kumpulan arsip yang berisi koran-koran yang memberitakan Wartawan Udin circa 1996-1997 (Sumber foto: Dok. Alinea/Ricky S)

Tepat pada Hari Kebebasan Pers Internasional, 3 Mei 2021, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta bersama Connecting Design Studio, IndonesiaPENA, dan Antologi Collaborative Space menggelar pameran bertajuk Memorabilia Wartawan Udin.

Acara yang dilangsungkan selama seminggu di Antologi Space, Yogyakarta ini merupakan momentum untuk merawat ingatan bersama serta mengawal setiap persoalan yang belum selesai, terkhusus soal HAM.

Poster Wartawan Udin dan HAM, merepresentasikan situasi pada tahun 2003, 1 dari 25 koleksi gambar lainnya. (Sumber foto: Dok. Alinea/Ricky S)

Lebih spesifik, pameran ini bertujuan untuk mengingatkan pemerintah agar segera menyelesaikan kasus pembunuhan jurnalis Harian Bernas, Udin, yang tanpa kejelasan selama hampir 25 tahun.

Pengunjung diajak menyelam masa lalu lewat repro foto 20 benda-benda Studio Foto Kresna, serta repro kliping koran yang memberitakan kasus pembunuhan Udin tahun 1996. Ditambah 25 poster linimasa yang merepresentasikan keadaan di masing-masing tahun pada gambar yang tertera.

Kasus Kematian Udin

Udin dianiaya oleh orang asing di rumahnya yang berlokasikan di Bantul, Yogyakarta, pada 13 Agustus 1996 sekitar pukul 23.30 WIB, lalu dilarikan ke RS Bethesda dan dinyatakan meninggal tepat 3 hari setelah kejadian penyiksaan tersebut.

Hal ini disinyalir karena tulisan kritisnya, salah duanya antara lain tentang penyunatan dana IDT (Inpres Desa Tertinggal) di Desa Karangtengah, Imogiri, Bantul dan dugaan kasus suap yang dilakukan Bupati Bantul saat itu, Sri Roso Sudarmo, seperti yang dilansir Tempo.

Sebesar Rp1 miliar pundi yang diduga kuat dibagikan untuk Yayasan Dharmais. Nama terakhir merupakan yayasan milik Soeharto–presiden saat itu–dan upeti tersebut bertujuan untuk mempermudah jalan menuju kursi bupati. Pencalonan kedua bagi Sri Roso yang juga terpilih lagi saat itu.

Ketidakadilan sayangnya masih berdekatan dengan kehidupan sehari-hari, dengan melupakannya kita bisa jadi melanggengkan tindakan tak terpuji itu. Maka: merawat ingatan, menjaga kewarasan.

(Ricky Setianwar)


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *