Toxic Positivity : Ungkapan Positif Bisa Jadi Toxic

‘‘Udah enggak apa-apa, nggak usah ditangisi. Ambil positifnya aja, dulu si A juga kayak gitu kok, malahan dia lebih parah lagi. Mungkin kamu harus lebih kuat dalam berdoa lagi ya, yuk bisa yuk!’’ respons seorang teman kepada Runi (20 tahun) selepas ia menceritakan kekecewaan yang disebabkan karena penolakan dari kampus impian untuk kedua kalinya.

Tanggapan temannya itu mungkin bertujuan untuk membuat Runi bangkit dengan menyarankan hal-hal positif. Seperti untuk bersyukur meski dengan membandingkan masalah orang lain, selalu berdoa, dan optimis. Namun sebaliknya, bukan perasaan lega yang Runi dapat, justru ia semakin merasa bersalah dan merasa usahanya sia-sia.

“Kok kesannya malah saya yang salah, enggak boleh menangis dan jarang berdoa ya, atau mungkin karena situasi saya waktu itu lagi kecewa, jadi yang saya terima malah kekesalan,” tukas ia kepada saya melalui Instagram.

Source : freepik

Dalam suatu kesempatan penyiar kawakan Dimas Danang Suryonegoro mengatakan, “Tanpa diketahui kadang kita telah mencubit orang lain, tapi kita tidak sadar, karena yang merasakan cubitan itu adalah orang lain yang tak sengaja kita cubit.” Kita sering kurang tepat dalam berucap. Bahkan untuk sekadar berniat membuat lawan bicara kita bangkit, justru malah membuatnya sakit.

Hal ini biasa disebut dengan toxic positivity, seperti yang dikatakan dr. Riana Mashar, M.Si., Psi. saat dihubungi via WhatsApp. Menurutnya, toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang terus fokus pada perasaan positif  yang berlebihan sehingga ia menolak saat memiliki emosi negatif dan memaksanya untuk menjadi positif. Sederhananya, toxic atau racun ini muncul dalam kemasan ucapan positif.

Hal tersebut dapat hadir dari orang lain kepada kita atau sebaliknya, kita yang menaruh energi beracun berbalut positif itu kepada orang lain. Selain itu yang perlu kita sadari, diri kita sendiri juga bisa menenggak toxic itu dalam diri sendiri.

Baca juga : Self-Talk , si Pembawa Banyak Energi Positif

Cerita Runi tadi ialah contoh toxic positivity eksternal, dari temannya kepada Runi. Tanpa disadari sang teman tidak ingin Runi merasa sedih dan memaksanya untuk menolak kesedihannya, bukan meng-handle atau menyelesaikannya.

Adalagi toxic positivity internal, saya pribadi pernah mengalaminya, adalah ketika saya kecewa oleh kegagalan diri sendiri waktu itu, bukannya menangis saya justru memaksa diri untuk terlihat baik-baik saja. Padahal aslinya menahan air mata. Bahkan waktu itu saya sempat berkata, ‘’All is well, Da, engak usah nangis, kamu enggak cengeng!’’ Nah menurut dr. Riana itu adalah racun yang sedang saya tenggak sendiri, saya sedang memakai topeng agar selalu terlihat ceria, justru dengan menangis bisa saja dapat membuang emosi negatif, untuk kemudian evaluasi diri dalam keadaan stabil, dan saya mengakui itu benar.

Agar Tidak Mengeluarkan Toxic Positivity

Toxic positivity mungkin saja terjadi karena kurangnya kemampuan kita dalam menjadi pendengar aktif, sebab seringkali orang yang sedang curhat kepada kita hanya perlu didengarkan sampai tuntas saja, tanpa buru-buru mendengar nasehat.

Yang ia butuhkan ialah pengakuan dari kita tentang kesedihannya, agar individu tersebut merasa lega, dan lebih jujur dengan kondisinya. Misal saja dengan berkata, ‘’Wajar sih kalo kamu bersedih, kita manusia biasa yang punya berbagai perasaan. Kamu sudah melewatinya dengan hebat, tapi coba kita pikirkan, apa kemungkinan yang bisa kita capai lagi.”

Dengan begitu bisa saja individu tersebut dapat merasa diterima sebagai manusia, tidak merasa kesepian, dan mau menyelesaikan masalahnya dengan sadar. Menjadi lemah, bukan berarti salah.

Ps : Runi adalah nama samaran, yang bersangkutan meminta agar nama aslinya tidak di-publish.

Penulis : IS, Editor : RS

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *