Tradisi Jauh Dari Kesetaraan Gender

ALINEA – Hiruk pikuk Kota Metropolitan sangat riuh perihal menyuarakan kesetaraan gender dalam berbagai hal. Namun, nyatanya hal tersebut tidak bisa dicampur adukkan karena ada beberapa tradisi yang jauh dari konsep kesetaraan gender karena memiliki kepentingan yang berbeda.

Menurut pengertian gender adalah pembedaan atribut, peran, sifat, sikap, dan perilaku yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Peran gender terbagi menjadi peran produktif, peran reproduksi, serta peran sosial kemasyarakatan.

Kesetaraan gender merupakan isu sosial yang terjadi secara global. Tidak jarang fenomena ini dijadikan indikator  kesejahteraan dan peradaban kemajuan suatu bangsa, akan tetapi hal tersebut tidak selamanya benar.

Sejatinya kesetaraan gender adalah suatu konstruksi sosial sehingga tidak bisa disamaratakan antara satu masyarakat dengan yang lainnya.

Jika kepentingan tersebut tetap dipaksakan nantinya akan mengancam hak asasi suatu komunitas terutama pada sekelompok orang yang melakukan pelestarian tradisi dan budaya. Peristiwa tersebut terkait dengan pemaknaan, kemandirian, dan kebebasan suatu komunitas terhadap suatu fenomena dan potensinya.

Indonesia punya beragam tradisi dan budaya yang masih lestari sejak saat ini. Beberapa tradisi memang dikhususkan untuk salah satu gender saja karena ada kepentingan budaya yang harus diwariskan tanpa ada perubahan walaupun di tengah pesatnya kemajuan zaman. Berikut ini tradisi yang wajib kalian ketahui:

Mendhak Sanggring

Sumber : Detik.com

Tradisi ini dinobatkan sebagai warisan budaya tak benda nasional  sejak tahun 2021. Ritual tahunan ini untuk kegiatan bersih desa sekaligus mengenang Ki Buyut Terik. Keunikan Mendhak Sanggring terletak pada persyaratannya, yakni semua yang masak harus laki-laki dan ada kriteria khususnya nih Liners, yaitu laki-laki harus sudah dikhitan, dimasak sebanyak 40 orang, kuali yang digunakan berjumlah 3 dengan ukuran berbeda. Informasi menariknya kenapa harus laki-laki? karena mereka beranggapan bahwa kaum laki-laki tidak memiliki hadas. Sehingga harapannya sesuai dengan arti dari sanggring sendiri adalah “Sangakaningwonggering” atau obat dari orang sakit.

Tidak heran selesai tradisi ini dihelat banyak orang yang berkerumun meminta kuah karena dipercaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita. Tradisi ini sudah berlangsung ratusan tahun di Desa Tlemang, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan. Upacara ini diadakan setiap 24-27 Jumadil Awal.

Boran

Sumber : Travelingkuy

Terlepas dari ciri khas makanan Lamongan. Nasi Boran juga memiliki karakteristik berbeda dari yang lainnya  karena orang yang menjajakan nasi tersebut mayoritas perempuan. Daerah asal makanan otentik ini terletak di Dusun Kaotan, Desa Sumberejo, Kabupaten Lamongan.

Kata Boran berasal dari tempat nasi terbuat dari anyaman bambu yang digendong menggunakan selendang. Hal itulah yang menjadi faktor homogen serta ciri khas gender dalam tradisi ini.

Sehingga sering dilihat kebanyakan penjual boran adalah kaum wanita. Di luar itu, semua fenomena ini terjadi akibat proses pengamatan secara turun-temurun sehingga menimbulkan cara pola pikir yang relatif berulang dan sama.

Dalam hal ini tradisi mengatur peran fungsi perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, gerakan pembangunan gender tak jarang mengalami benturan tradisi dalam implementasi konsepsi ideal sehingga pemaknaan gender dari masing-masing komunitas berbeda sesuai dengan konstruksi sosial dan cultural.

Saat ini perbedaan pendapat tentang kesetaraan gender semakin ramai diperbincangkan. Namun, yang lebih penting tentang bagaimana pengelolaan tentang pemahaman fleksibilitas penyebutan gender tergantung budaya dan tradisi masing-masing setiap daerah.

 

Penulis : Adella Nur Aini
Editor : Indah Nur Shabrina

Baca juga : Menilik Aset Negara Studio Musik Lokananta


 

 

 


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *