Ulasan Film ‘Fantasy Island’, Ketika Fantasi Menjadi Nyata

Sebuah fantasi yang menjadi kenyataan (dok. Blumhouse Productions)

ALINEA – Pernah merasakan fantasi liners menjadi sebuah kenyataan? Blumhouse Productions kembali lagi dengan film horror mereka yang berjudul Fantasy Island. Film yang disutradarai oleh Jeff Wadlow, dibintangi oleh Lucy Hale dan Michael Pena memberikan sensasi berpetualang di dalam pulau fantasi.

Film Fantasy Island bergenre Horror, Adventure dan Comedy diadaptasi dari serial TV tahun 70-80 an dengan judul yang sama. Fantasy Island bercerita tentang sekelompok remaja yang memenangkan kontes berhadiah berlibur ke pulau yang dapat menjadikan fantasi menjadi sebuah kenyataan.

Pulau fantasi di wujudkan oleh salah satu pengusaha kaya raya bernama Rourke (Michael Pena). Roarke bersama pelayannya tinggal di sebuah resort mewah yang membuat siapa saja ingin tinggal disana. layaknya seperti gambaran surga. pulau fantasi juga menawarkan pantai dengan pasir putih serta pepohonan hijau.

Alih-alih dinamakan Fantasy Island, para pemenang kontes tak perlu pikir panjang untuk mengunjungi pulau ini. Mereka diberi kesempatan oleh Roarke untuk mewujudkan satu fantasi mereka dan tidak boleh lebih.

Tetapi ada sesuatu yang janggal setiba nya para pemenang, sinyal tidak ditemukan dan para pelayan bertingkah sangat aneh setiap harinya seakan memberikan sebuah tanda jika pulau tersebut memiliki rahasia.

Satu persatu fantasi tiap pemenang dimulai, Brax (Jimmy O. Yang) dan saudaranya JD (Ryan Hansen) mendapat giliran pertama mereka oleh Rourke. Mereka berdua menulis keinginan ingin menikmati malam di club house dan keinginan itupun terwujud.

Rourke juga berkata jika fantasi tidak akan dapat berakhir sesuai yang mereka inginkan, mereka harus menjalani nya dengan jalan yang alami.

Lalu Elena (Maggie Q) mendapat giliran kedua. Elena menyesal pernah menolak lamaran pacarnya hanya karena dia berpikir kalau dia tidak pantas mendapatkannya tetapi karena ini Fantasty Island, semua itu berubah sesuai yang elena harapkan.

Giliran ketiga diberikan ke Patrick (Austin Randall) yang ingin bergabung ke militer AS dan giliran terakhir diberikan kepada tokoh utama Melanie (Lucy Hale). Melanie sangat ingin balas dendam terhadap teman yang pernah membully-nya semasa sekolah dulu.

Tapi disitu lah jebakannya, mereka harus berpetualang di fantasi yang mereka buat sendiri, terlebih lagi mimpi buruk tengah yang tengah menghantui mereka.

Kejanggalan mulai terjadi didalam fantasi milik Melanie. Melanie diberi kesempatan untuk menghukum si bully yang bernama Sloane (Portia Doubleday). Hampir menghabiskan 30 menit merekam Melanie yang menyiksa Sloane yang sedang diikat dengan kursi, Melanie mengungkapkan jika Sloane yang ia siksa bukanlah sebuah fantasi melainkan kenyataan.

Mulai dari sini penonton akan diberikan alur yang dipelintir (plot twist) yang penuh kejutan dan pasti membuat penonton bertanya-tanya selagi nonton. Sang Sutradara sekaligus penulis Jeff Wadlow sepertinya memang senang bercerita dengan plot twist didalamnya.

Salah satu yang menjadi sorotan tentunya penulisan naskah di film ini. Jeff Wadlow sangat tau apa yang ingin ia sampaikan, sebagai contoh setiap karakter di film ini memiliki ceritanya masing-masing sehingga sangat jelas bagaimana tiap karakter ber-improve di filmnya.

Cinematography juga patut diacungi jempol, pengambilan set lokasi di kepulauan Fiji yang begitu indah seperti layaknya sedang berada di sebuah pulau tropis bernuansa fantasi.

Terlebih lagi, disetiap fantasi memiliki latar lokasi yang berbeda, dimana fantasi Melanie berlokasi di ruang penyiksaan, Patrick di hutan, Brad dan JD di clubhouse malam, dan Elena berada di dua lokasi yaitu di restoran berbintang dan apartemen yang terbakar.

Ditambah masing-masing karakter memiliki plot twist nya sendiri hingga akhir film dan sangat tidak dapat ditebak sehingga menyisahkan belasan pertanyaan. Penonton seakan diajak untuk tetap fokus ketika menonton film ini.

Alih-alih bergenre Horror-Adventure. Nuansa horror di film ini terkesan kurang, penonton pasti mengharapkan banyaknya nuansa horror sepanjang petualangan tiap karakter. Tapi nyatanya masih kurang memberikan nuansa ngeri bahkan mungkin tidak ada sama sekali.

Walaupun rating 17+ saat rilis di Indonesia. Darah yang ditampilkan juga berwarna hitam dan bukan merah padahal film ini harusnya memberikan rasa ngeri ke penonton.

Namun, sangat disayangkan banyak dialog yang dilontarkan terkesan tidak perlu dan diulang-ulang.

Film ini seakan dipaksa untuk menjadi film berbalut plot twist, tidak seperti film Hereditary atau Us yang memiliki plot twist diakhir cerita. Film ini justru memperbanyak plot twist di satu adegan, malah membuat adegan horror yang semestinya ada malah tertutup dengan plot twist yang berlapis ini.

Film Fantasy Island cocok untuk liners yang suka film dengan plot twist didalamnya. film ini juga tidak banyak menampilkan adegan sadis atau slasher dengan jump scare yang secukupnya.

Imdb memberikan rating 5.9/10 untuk film ini.

(Faiz)


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *