ALINEA – Di tengah pandemi COVID-19 ini, sudah sepatutnya seorang jurnalis memperdalam skill-nya terkait jurnalistik daring (online journalism). Hal ini dipelajari mengingat situasi yang tidak memungkinkan kita untuk terlalu sering keluar rumah. Namun, bagaimana cara mempelajarinya tanpa harus berkumpul? Johanna Son–seorang konsultan di Southeast Asia Media Training Network (SEAMTN)–menulis sebuah buku panduan tentang bagaimana menjadi jurnalis yang cakap di tengah pandemi COVID-19.

Peran Media dan Internet

Tidak dipungkiri lagi, peran media dalam dunia jurnalistik kini kian berkembang pesat. Bahkan sebelum dimulainya pandemi ini pun, para jurnalis sudah mulai berlomba untuk meningkatkan kemampuan jurnalistik daring. Apalagi dengan terjadinya situasi seperti ini. Jurnalis harus bisa beradaptasi dengan teknologi terbaru.

Sudah bukan menjadi rahasia lagi, bahwa media jurnalistik kala ini lebih mendominasi di dunia maya alias internet. Media yang dimaksud bisa berupa website resmi sampai media sosial yang sering Liners gunakan.

They also do not have control over third-party platforms like social media, chat groups and other social platforms.

Mereka (media) tidak memiliki kendali terhadap platform pihak ketiga seperti media sosial, grup chat, dan platform sosial lainnya.” (Hal. 13)

Pernyataan tersebut menjadi fakta nyata yang tidak bisa dipungkiri media lagi. Menyebarkan dan menyalin sebagian atau seluruh konten berita ke beberapa platform seperti yang disebutkan bukanlah suatu tindakan ilegal. Memang platform tersebut bukanlah media berita, namun sudah mengakar menjadi ‘tuan rumah’ untuk pendistribusian berita dan penguatan ikatan dengan pemirsa.

Harus diakui, bahkan kata “multimedia” yang dulu begitu ‘wah’, sekarang terkesan ketinggalan zaman. Ekspektasi kita mengharapkan berita yang menghadirkan visual, audio, dan juga pergerakan dalam satu kemasan.

Jurnalistik Daring (Online Journalism) dan Keselamatan Dunia Maya

Sebagai seorang jurnalis, Liners sudah sepatutnya memperhatikan keselamatan di dunia maya. Karena kegiatan ini dilakukan dengan serba daring, maka aktivitas seperti searching bahan-bahan berita pun bisa berisiko di-hack-nya data pribadi kita. Di dalam buku ini, Johanna Son memberikan beberapa contoh aplikasi dan situs yang sekiranya aman digunakan untuk berselancar di dunia maya.

Teknologi dan Skill yang Harus Berimbang

Johanna juga mengajak kita untuk merenungkan kembali apa sebenarnya jurnalistik.

What makes journalism jurnalism?

Apa yang menjadikan jurnalistik sebagai jurnalistik? (Hal. 25)

Jurnalis memang harus cakap berteknologi untuk mendukung pekerjaannya, apalagi dengan dihadapkan dengan situasi serba daring seperti ini. Namun, terlepas dari semua hal itu, kita tidak boleh melupakan apa yang menjadi dasar jurnalistik.

Rekomendasi Peralatan

Beberapa rekomendasi peralatan yang sebaiknya dimiliki oleh seorang jurnalis–yang bisa membantu–pun dipaparkan dengan rinci oleh Johanna Son. Mulai dari smartphone hingga catatan dan pena sebagai peralatan ‘jadul’ yang biasa diandalkan. Johanna menuliskannya sebagai “Journalist’s Tool Bag” (Tas Peralatan Jurnalis). Berikut ini isi ‘Tas Peralatan Jurnalis’ yang direkomendasikan oleh Johanna:

  • Smartphone;
  • Recorder digital;
  • Aplikasi transkripsi daring;
  • Earphones;
  • Clip-on;
  • Tripod; dan
  • Buku catatan dan pena.

Lagi-lagi ia menekankan, bahwa di samping semua peralatan canggih tersebut, skill yang mumpuni sebagai seorang jurnalis adalah yang terpenting.

Ulasan Singkat “ONLINE Journalism and Storytelling: A Training and Learning Kit”

Buku ini bisa dibaca dalam sekali duduk. Walau begitu, materi yang dipaparkan di dalamnya sangat padat dan rinci. Kalau Liners ingin membaca buku tentang jurnalistik yang ringan, Alinea menyarankan buku ini untuk Liners baca. Liners bisa membacanya langsung sampai habis atau membacanya perlahan sambil menulis catatan.

Tidak seperti buku kit pada umumnya yang lebih banyak memaparkan teori, Johanna secara cermat juga memberikan contoh pada tiap babnya. Jadi kalau Liners merasa ingin segera menerapkannya, contoh-contoh tersebut akan sangat membantu. Tidak hanya contoh, bahkan beberapa pengalaman turut Johanna tuliskan dalam buku ini.

Bahasa Inggris yang digunakan pun tergolong mudah dipahami–tidak berbelit-belit dan tidak banyak menggunakan kata yang sulit. Khas Swedia, tempat di mana Fojo Media Institute–institusi yang membawahi SEAMTN–berada. Selain itu, terdapat foto di setiap akhir bab, menjadikan membaca lebih menarik dan tidak membosankan.

Johanna juga memaparkan tentang Fojo Media Institute dan Southeast Asia Media Training Network dengan porsi yang pas, sehingga tidak terkesan menulis buku ini hanya untuk mempromosikan institusi tersebut.

Bagi Liners yang awam dengan dunia jurnalistik, membaca buku ini mungkin akan terkesan sedikit menyimpang dari bahasan jurnalistik yang sesungguhnya. Ini wajar, karena ilmu jurnalistik yang biasa diajarkan merupakan versi offline, sedangkan yang dipaparkan di sini adalah versi online (daring). Hal ini lebih efektif, mengingat adanya pandemi COVID-19 sekarang ini.

Baca juga: Tips Produktif di Tengah Pembelajaran Online Ala Mahasiswa

Liners tertarik untuk mempelajari jurnalistik daring lebih jauh? Buku ‘sekali duduk’ ini bisa menjadi alternatif Liners! ONLINE Journalism and Storytelling ini bisa Liners download di website resminya; Off the Press! Online Journalism Training and Learning Kit. Selamat membaca!

(Pinky Nur Azizah)