Kisah Mulia dari Tempat Sampah
Aroma sampah begitu menyengat di area Transfer Depo Sampah Tambakboyo, Kecamatan Condong Catur, Sleman, Yogyakarta. Bagi para pemulung di lokasi tersebut, aroma itu sudahlah bukan bau asing lagi. Mereka sudah sejiwa dengan aroma sampah tersebut. Itu harus dilakukannya demi bisa menyambung hidup dari hari ke hari.
Hari-hari para pemulung itu tidak lepas dari memilih sampah yang layak dipilih dan dijual lagi demi menghasilkan rupiah. Meskipun mereka ada yang berusia anak sekolah, namun tidak pernah terbayangkan oleh mereka bagaimana bisa melanjutkan pendidikan sekolah.
Melihat kondisi itulah, Monika dan teman-teman sekosnya terpanggil secara sukarela memberikan kesempatan pada anak-anak pemulung itu untuk belajar kembali. Meskipun itu dilakukan sembari menempuh skripsi studi akhir.
Di tengah pandemi Covid-19, anjuran untuk belajar dari rumah mungkin hanya akan efektif bagi anak dari keluarga mampu. Sebab membutuhkan lingkungan yang aman, nyaman dan tentunya fasilitas internet yang memadai.
Namun sebelum datang permasalahan Covid-19, kehidupan anak-anak pemulung juga sudah menghadapi banyak kesulitan. Mereka harus membagi hidupnya, untuk meraih kesempatan belajar dan bekerja membantu orang tua mengumpulkan barang bekas.
Monika dan teman-temannya pun menawarkan pengabdiannya kepada anak-anak pemulung agar bisa belajar bersamanya. Bermodalkan ide sederhana, Monika mempersiapkan alat tulis-menulis dari hasil merogoh kocek pribadinya. Kemudian mengajak anak pemulung belajar di antara tumpukan sampah dengan beratapkan genteng depo.
“Saya pertama kali mengajar mereka di tumpukan sampah. Itu ada seminggu saya mengajar mereka. Saya lihat, mereka serius dan semangat untuk belajar,” cerita Monik, saat ditemui reporter.
Tempat belajar yang diberi nama Rumah Yoel kini telah memiliki 60 murid. Mereka yang ingin belajar tidak hanya dari pemulung, namun ada dari masyarakat sekitar yang terdampak sekolah di rumah karena pandemi.
Sosok Monika Modhista
Tubuhnya kecil namun dia terlihat gesit. Langkah kakinya terlihat ringan tanpa ragu memasuki gang-gang kecil perkampungan pemulung dan melangkah. Senyumnya sumringah menyapa adik-adik di kampung pemulung tersebut. “Saya memahami perasaan mereka, karena dahulu saya juga hidup di keluarga yang juga pernah mencapai titik terendah. Jika bertemu makan sehari saja sudah sangat bersyukur” ucapnya.
Perempuan yang akrab dipanggil Kak Monik oleh siswanya inipun bercerita mengenai kisah hidupnya. Beliau lahir dari keluarga sederhana di Kabupaten Atambua, Nusa Tenggara Timur. Menjadi kakak sulung dari 6 adik kandungnya, membuatnya sudah dilatih menjadi “baja” sejak kecil. Monik kecil harus menjadi “pengasuh” untuk membantu orangtuanya merawat adik-adiknya. Sejak pukul 5 pagi, dapur asap harus sudah mengepul dan dasi sekolah sudah harus dipakai. Monik tidak bisa memikirkan diri sendiri karena banyaknya aktivitas rumah yang harus dikerjakannya.
Kini, Monik hampir menyelesaikan studinya di Prodi Psikologi Mercu Buana Yogyakarta. Sepanjang perjalanan studinya, sudah banyak pengalaman yang ia peroleh. Namun meski sudah sering berurusan dengan dunia sosial, Monik mengaku memang gampang-gampang susah mengajar anak-anak pemulung. Pasalnya, sedari kecil, anak-anak pemulung, sudah mengenal cara mencari uang sehingga sulit diajak belajar. “Mereka sudah terbiasa mencari uang, tepatnya sudah diajarkan orang tuanya untuk mencari uang,” kata Monik.
Selain kesulitan untuk mengubah pola pikir mereka, menurut Monik, karakter dari anak-anak pemulung juga merupakan hal tersulit yang harus dihadapinya. “Harus ekstra sabar, mereka terbiasa cuek, berbicara kasar, pakaian semaunya,” ujar Monik. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk Monik bisa beradaptasi dengan anak-anak ini. Hal tersebut bertambah sulit ketika Monik mendapat penolakan dari orang tua anak-anak pemulung ini. “Orang tua mereka maunya anak-anak ini bisa cari uang, tidak perlu pendidikan,” ucapnya.
Tekad Monika Untuk Anak-Anak
Tak ingin semangat belajar untuk meraih cita-cita anak pemulung terkubur sampah. Wanita berusia 23 tahun itu terus berusaha mengabdikan diri dengan memebri edukasi anak pemulung secara gratis. Semangat itu kini berhasil ia tumbuhkan kepada anak-anak pemulung. Misi beliau juga didukung oleh donatur yang disebutnya “Tangan Tuhan” untuk memberikan makanan bergizi bagi anak-anak.
Waktu belajar diambil pada sore hari agar mereka tidak ikut orang tua memungut sampah. “Anak-anak yang sebelumnya pulang sekolah ikut bersama orang tua memungut botol atau barang bekas kami ajak untuk belajar. Kami ajarkan semua mata pelajaran, mulai dari kelas mengaji, menghafal doa, menulis, berhitung, dan bahasa Inggris. Bersyukur anak-anak sangat antusias, orang tua mereka pun kini mendukung,” jelasnya.
Monik, mutiara dari tanah Timur ini memang patut dijadikan contoh. Merantau ke Yogyakarta dari daerah pedalaman, menempuh jenjang pendidikan yang tinggi tetapi memilih untuk mengabdikan diri sebagai pengajar demi kemajuan anak-anak yang kurang mampu.
Sedari dulu ia memang bertekad agar kemiskinan tidak ada lagi di Indonesia. Hal tersebutlah yang coba ditularkan wanita berusia 23 tahun ini kepada anak-anak didiknya yang berasal dari pemulung ini.
“Minat anak yang belajar terus meningkat, kemudian relawan pun terus bertambah. Saya ada buat grup WA, semua anggotanya adalah tenaga pengajar, mereka yang mengajar pun tidak dibayar, hanya pengabdian,” katanya.
Ia percaya, cara agar anak-anak bisa keluar dari jerat kemiskinan, adalah dengan pendidikan. Tanpa pendidikan yang baik mereka hanya akan berputar di lingkungan itu saja.
(Maria Esfera)
Leave a Reply